Jurnal Kehidupan

Tidak Tahu Harus Bagaimana

Hari ini, tiba saatnya jadwal untuk menulis artikel di blog Sampai Nanti, setelah sekian lama saya tidak menulis artikel apapun sejak kemunculan Chat GPT.

Tangan dan pikiran saya kaku sekali rasanya, super malas untuk menulis.

Postingan ini mungkin adalah salah satu yang paling tidak jelas diantara yang lain, menulis tanpa tujuan, hanya mengukir kata demi kata dari pikiran yang makin lama rasanya makin membeku.

Semua Berawal Dari Keresahan

Awalnya, saya tidak akan menyelesaikan tugas yang sudah ada di aplikasi Todoist, yaitu menulis artikel di blog Sampai Nanti setiap 77 hari.

Lebih baik saya tunda dulu dan lakukan tugas yang lain, atau bahkan tidur? Karena ini sudah kelewat malam.

Tapi, rasanya keresahan hidup yang saya alami ini harus didokumentasikan. Karena saya mengalaminya cukup lama, dan itu sangat mengganggu kesehatan mental saya (hampir setiap hari).

Hari ini mungkin sudah ditengah perjalanan, jadi saya tak tahu lagi apa yang ingin saya tuliskan.

Saya sudah cukup ikhlas dan kuat untuk menghadapi itu semua, hanya saja saya tak boleh melupakan masa ini.

Dan lagipula, masalahnya belum selesai.

Di lain sisi, saya juga bingung harus mulai dari mana. Saya juga cukup malas untuk menceritakan apa yang saya alami.

Bahkan, sampai pada kalimat ini judul belum saya buat.

Sungguh berkebalikan sekali dengan cara saya membuat artikel, dimana saya akan melakukan riset keyword terlebih dahulu, baru menentukan judul dan mulai menulis.

Tapi itu artinya memang ini bagian dari diary hidup saya, yang saya tulis setengah-setengah, hahaha.

Alasan Menulis Artikel Ini

Baik, daripada panjang lebar tidak jelas. Mari perjelas saja mengapa saya ingin menulis artikel ini.

Alasannya bukan lain adalah saya capek, saya marah, saya tenang, dan saya sabar, dan saya merasa terpojok.

Dan paling mendominasi adalah rasa marah yang meluap-luap namun disisi yang bersamaan saya merasa sangat tenang.

Bisa dibilang aneh, namun percayalah ketika kamu mengalami kemarahan yang berkepanjangan, namun kamu dalam kondisi terpojok tak bisa melakukan apa-apa, rasa marahmu akan berubah menjadi ketenangan yang siap meledak kapan saja ketika pemicunya datang.

Dan semoga, sampai nanti tuhan akan menjaga pemicu tersebut agar senantiasa dijaga dengan segala hal yang membuat hidup semakin buruk.

Saya menghadapi hal yang bisa dibilang aneh, bahkan saya sendiri selalu mempertanyakan mengapa saya bisa mengalaminya?

Toxic Positivity

Jika kamu pernah mendengar istilah ini, maka saya adalah orang yang sangat tepat untuk dijadikan contoh.

Saya hampir setiap hari mengkonsumsi konten positif yang super ambisius, saya benci sekali orang yang punya mental nyinyir dan pesimis, dan orang-orang yang suka berpikiran buruk.

Kelihatannya cukup normal bukan? Bahkan sekilas tampak baik. Namun kenyataannya tidak.

Jika itu sampai berlebihan, maka menjadi berbahaya karena kita menjadi sulit untuk menerima ketidaksempurnaan hidup, yang mana akan selalu melekat dalam kehidupan (even myself).

Saking belebihannya saya, saya akan menjauhi hal-hal yang berbau negatif, tidak suka orang merokok, tidak suka orang penuh amarah dan sumbu pendek, tidak suka orang yang suka mengeluh, tidak suka orang yang malas, tidak suka orang yang main-main dengan 7 prinsip manusia berkualitas (jujur, amanah, rendah hati, pekerja keras, penyabar, cerdas [opsional], bijaksana [opsional]).

By the way, yang opsional menurut saya lumayan sulit untuk dimiliki orang biasa, jadi saya beri keterangan opsional, namun selain itu menurut saya wajib dimiliki semua orang, atau mungkin 80% populasi manusia harus punya itu semua.

Kenapa 80%? Karena saya hidup dalam dunia mimpi saya sendiri dimana semua adalah orang baik.

Ya, itu adalah mental yang kurang sehat yang saya idap, saya tidak menerima bahwa hidup tidak sempurna.

Namun nilai itu saya pegang dengan sangat kuat bahkan meskipun saya sendiri berusaha mematahkannya.

Bahkan hampir semua teman saya jauhi, hanya karena mereka punya sifat buruk yang hampir mustahil saya tolerir untuk saat ini.

Saya memilih hidup yang tidak banyak drama, tidak mau mengenal orang yang tidak jujur, dan banyak omong kosong.

Saya selalu memilih sendiri, saya tidak punya apapun yang bisa saya pegang kecuali tuhan.

Benar, saya tak punya apapun selain tuhan yang saya andalkan, saya sudah cukup putus asa dengan yang namanya manusia.

Namun saya tidak boleh putus asa karena mental pejuang harus siap bertempur sampai ajal menghampirinya.

Begitulah pikiran saya berperang satu sama lain, mematahkan argumen demi argumen.

Masalah Yang Tidak Bisa Dikontrol

Namun semua itu bukan masalah besar yang saya alami, saya masih bisa menghandle itu dengan cukup mudah.

Masalah terbesar justru datang dari luar. Hal yang tidak bisa saya kontrol, hal yang berurusan dengan manusia lain, yang sulit sekali ketemu solusinya.

Tidak seperti melakukan programming, dimana masalah sesulit apapun masih bisa dicari berbagai skenario solusi dengan berbagai simulasi dan mengubah strategi/komposisi pembentuknya.

Namun lain cerita jika yang saya hadapi adalah sifat manusia lain.

Sebenarnya, saya tidak pernah sudi untuk ngurusin sifat orang lain. Saya begitu masa bodoh dengan orang ketika ia sudah bebal dan keras.

Saya berusaha menjaga batas dan orang-orang seperti itu membuat saya bersyukur.

Tapi semuanya berbeda ketika orang semacam itu hidup di kehidupan saya setiap hari, dia tak terhindarkan.

Dan tau apa yang lebih parah dari itu?

Dia punya kekuasaan.

Ya, itu sudah cukup membuat saya putus asa. Namun sebenarnya saya belum menyerah, karena saya masih mencari solusinya.

Namun solusi yang paling dekat pun rasanya masih mustahil untuk dicapai. Karena, ya jujur saja, saya adalah manusia yang gagal dalam hal karir, pekerjaan dan finansial.

Saya sudah berusaha sekuat tenaga menghabiskan waktu untuk itu, dimana saat ini mulai membaik.

Namun tetap saja… “Ya Qahhhar

Artikel ini ditulis tanpa arah, sehingga di akhir seperti tidak ada yang bisa disimpulkan. Bahkan saya mempublikasikan artikel ini setelah berbulan-bulan berada di draft.

Di akhir artikel saya menuliskan “Ya Qahhar”, sebenarnya karena amarah saya rasanya sudah di titik paling maksimal dan tidak bisa dibendung, sehingga yang bisa saya lakukan adalah berhenti menulis seketika dan memohon kekuatan dari yang maha kuasa, saya percaya kekuatan manusia tidak ada apa-apanya, dan saya memilih untuk melawan balik dengan mengadu kepada Tuhan.

Tapi itulah bukti bahwa saking marahnya saya pada saat itu, betapa pasrahnya hamba ini kepada Tuhannya. Mungkin inilah bentuk ujian yang tepat untuk saya, karena mungkin menurut Tuhan ujian yang dulu rasanya sudah seperti kerupuk yang kurang berasa?

Who knows? Saya juga tidak tahu, saya lebih suka tempe dan ikan laut 🙂

Life is complicated, but you are the mystery solver

Write A Comment